Pengaruh PAN-Islamisme dengan cepat merambah ke berbagai bidang dan mendesak dilaksanakannya pembaharuan, termasuk pembaharuan di bidang pendidikan. Melalui majalah al-Urwah al-Wusqa dan al-Manar ditekankan pentingnya pendidikan umum di samping pendidikan agama. Menurut Muhammad Abduh, bahwa ilmu pengetahuan modern dan Islam adalah sejalan dan sesuai, karena dasar ilmu pengetahuan modern adalah sunnatullah, sedangkan dasar Islam adalah wahyu Allah. Keduanya berasal dari Allah. Oleh karena itu umat Islam harus menguasai keduanya. Umat Islam harus mempelajari dan mementingkan ilmu pengetahuan modern di samping ilmu pengetahuan agama. Sekolah-sekolah modern harus dibuka, di mana ilmu-ilmu pengetahuan modern diajarkan di samping pengetahuan agama.
Muhammad Abduh melihat bahaya yang akan timbul dengan adanya dikotomi sistem dalam pendidikan. Sistem madrasah lama akan mengeluarkan ulama-ulama yang tak ada pengetahuannya tentang ilmu-ilmu modern, sedang sekolah-sekolah pemerintah akan mengeluarkan ahli-ahli yang sedikit pengetahuannya tentang agama.
Kesemua ini menimbulkan kesadaran di kalangan masyarakat Arab Indonesia tentang perlunya mendirikan suatu organisasi yang mengelola pendidikan sesuai dengan pendapat Muhammad Abduh, mereka merasa tertantang untuk menjawab permasalahan pendidikan yang terjadi di Indonesia khususnya di Batavia.
Kebijakan politik Belanda dalam bidang pendidikan, membuka cakrawala baru bagi para cendekiawan muslim, khususnya di Batavia yang berhasrat untuk membuka lembaga pendidikan Islam. Maka atas prakarsa beberapa pemuka masyarakat Arab yang berpikiran maju, lahirnya lembaga pendidikan Islam modern pertama di Indonesia, bernama Jamiat Kheir.
Diawali pada tahun 1898, beberapa tokoh dari kalangan masyarakat Arab sepakat untuk membuat suatu perkumpulan yang bertujuan membantu kondisi sosial masyarakat Arab. Berulangkali para tokoh masyarakat Arab mengadakan rapat untuk mewujudkan cita-cita mereka membantu kondisi sosial masyarakat muslim dan rencana mendirikan lembaga pendidikan Islam modern, yang merupakan semangat penolakan mereka terhadap kebijaksanaan kependidikan yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda. Cita-cita tersebut sesuai pula dengan gagasan mufti Betawi sayid Usman bin Abdullah bin Yahya agar ummat Islam membangun suatu lembaga pendidikan agama untuk menangkal Kristenisasi melalui sekolah-sekolah negeri
Pada tahun 1901 sebagai langkah permulaan beberapa tokoh masyarakat Arab berinisiatif mendirikan sebuah organisasi yang bergerak di bidang sosial pendidikan berdasarkan Islam, yang diberi nama Jamiat Kheir. Pada mulanya organisasi ini dimaksudkan sebagai wadah kerjasama dan perlindungan, tapi mencerminkan pula sentimen keagamaan yang kuat dari pendiri-pendirinya, yang selalu siap memberi bantuan pada tiap organisasi yang condong pada Islam. Karena anggota dan pemimpin organisasi ini pada umumnya terdiri dari orang-orang yang berada, maka mereka dapat menggunakan sebagian besar waktunya untuk perkembangan organisasi tanpa merugikan usaha mereka untuk pencaharian nafkah. Mungkin hal ini pulalah yang menjadi salah satu penyebab utama yang menunjang kemajuan dan perkembangan Jamiat Kheir.
Berdasarkan permohonan tertanggal 15 Agustus 1903, dengan tujuan organisasi untuk memberikan bantuan kepada orang-orang Arab yang tertimpa musibah kematian dan membantu mereka dalam pelaksanaan perkawinan, kepengurusan perkumpulan Jamiat Kheir adalah sebagai berikut[1]:
Ketua : Said bin Ahmad Basandiet
Wakil Ketua : Muhammad bin Abdullah Syahab
Sekretaris : Muhammad al-Fakhir bin Abdurrahman al-Masyhur
Bendahara : Idrus bin Ahmad Syahab.
Surat permohonan itu tidak segera diturunkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Kemungkinan kedatangan surat tersebut menimbulkan kecurigaan di kalangan pemerintah, yang ketika itu tidak suka terhadap berdirinya suatu perkumpulan yang bergerak di bidang sosial, maka pemerintah segera mengambil beberapa tindakan terhadap Jamiat Kheir, diantaranya ialah membatasi daerah-daerah yang tidak boleh dikunjungi orang-orang Arab dan keturunannya di Indonesia. Di Batavia, pemerintah Hindia Belanda menentukan lokasi berkumpulnya orang-orang Arab di Pekojan.
Sampai dua tahun lamanya ternyata pemerintah belum memberikan jawaban, kemungkinan rasa curiga pemerintah terhadap perhimpunan itu sangat mendalam, karena surat yang diajukan pada tahun 1903, baru diterbitkan pada tahun 1905 dan dikeluarkannya surat tersebut juga setelah Muhammad al-Fakhir bin Abdurrahman al-Masyhur sebagai sekretaris Jamiat Kheir memperjelas maksud dan tujuan pendirian perkumpulan tersebut dalam surat susulannya tertanggal 16 Maret 1905, diantara isi surat permohonan tersebut :
Maka sampe ini waktoe hamba belom mendapet kabarnja, pada hal itu Rekes tiada sekali malanggar atoeran negri, malahan baek boewat negri, karena bebrapa banjak orang miskin akan mendapet pertoeloengan dari ini perkoempeolan. Maka itoe hamba harap soepaja di kaboelkan permoehoenan jang terseboet itoe.[2]
akhirnya pada tanggal 17 Juni 1905 Jamiat Kheir berdiri secara resmi dengan beroleh pengesahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan Anggaran Dasarnya dapat disetujui. Akan tetapi Jamiat Kheir dilarang untuk mendirikan cabang-cabang organisasi di luar wilayah Batavia.
Izin resmi yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda berdasarkan masukan Priesterraden, suatu badan khusus yang dibentuk pada tahun 1882 dengan tugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam. Atas nasehat badan inilah maka pada tahun 1905 pemerintah mengeluarkan peraturan yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran harus minta izin lebih dahulu. Pada tahun-tahun itu memang sudah terasa adanya ketakutan dari pemerintah Belanda terhadap kemungkinan kebangkitan pribumi. Setelah izin diperoleh, Jamiat Kheir segera membuka sebuah madrasah tingkat Ibtidaiyah di kampung Pekojan yang memberikan pengajaran secara gratis, dengan menggunakan kurikulum perpaduan antara pelajaran agama dan pelajaran umum. Sebagai cermin anti pejajahan, dalam pengetahuan umum Jamiat Kheir tidak mengajarkan bahasa Belanda tetapi hanya mengajarkan bahasa Inggris.
Adapun tujuan Jamiat Kheir yang terdapat dalam Anggaran Dasarnya tertanggal 15 Agustus 1903 adalah : Memberikan bantuan bagi orang-orang Arab, pria maupun wanita yang tinggal di Batavia dan sekitarnya bila anggota mereka meninggal dunia atau mengadakan pesta perkawinan.
Setelah memperoleh pengakuan sebagai badan hokum, maka sesuai dengan pasal 10 Anggaran Dasar tanggal 15 Agustus 1903, diadakan rapat umum anggota pertama pada tanggal 9 April 1906, di samping terpilihnya kepengurusan Jamiat Kheir yang baru :
Ketua : Idrus bin Abdullah al-Masyhur
Wakil Ketua : Salim bin Awad Balweel
Sekretaris : Muhammad al-Fakhir bin Abdurrahman al-Masyhur
Bendahara : Idrus bin Ahmad Syahab.
juga diterima perubahan Anggaran Dasar. Dalam Anggaran Dasar yang baru tujuan organisasi mengalami perubahan. Di samping bertujuan memberikan bantuan pada anggota perkumpulan dalam masalah kematian dan pelaksanaan pernikahan (pasal 1), Anggaran Dasar tersebut memuat tujuan untuk mendirikan sekolah-sekolah hingga pelaksanaan pengajarannya. (pasal 2). Dan anggotanya tidak saja dari kalangan Arab, tetapi meluas kepada kebangsaan lain, asalkan ia seorang muslim (pasal 4).[3] Penambahan Anggaran Dasar ini disetujui oleh pemerintah melalui keputusan gubernur jenderal pada tanggal 24 Oktober 1906[4], dikarenakan Anggaran Dasar Jamiat Kheir tidak mengandung tujuan politik serta tidak mengandung hasutan (yang dapat membahayakan keamanan pemerintahan).[5] Abdullah bin Alwi Alatas sebagai pemuka gerakan Pan-Islam turut mendukung atas berdirinya organisasi Jamiat Kheir ini.
Pada tanggal 30 September 1907[6], sesuai dengan keputusan dalam rapat umum anggota diadakan perubahan Anggaran Dasar kembali, setelah dalam rapat tanggal 27 April 1907 terpilih pengurus baru. Pada tahun ini juga, haji Muhammad Mansur mengajar di sekolah Jamiat Kheir. Ia dipilih menjadi guru karena kemampuannya di dalam mengajarkan bahasa Melayu dan pengetahuan agama. Guru Mansur adalah penganjur kemerdekaan. Beliau menyerukan agar bangsa Indonesia mengibarkan bendera merah putih. Beliau menyerukan persatuan umat dengan slogannya yang terkenal ‘rempuk’ yang artinya musyawarah. Beliau juga salah satu ulama yang alim dalam ilmu falak.
Setelah kepengurusan baru yang terdiri dari Abubakar bin Ali Syahab sebagai ketua dan Muhammad al-Fakhir bin Abdurrahman al-Masyhur sebagai sekretaris mengajukan permohonan perubahan Anggaran Dasar pada tanggal 31 Januari 1908 maka perubahan tersebut disetujui oleh pihak pemerintah pada tanggal 29 Juni 1908.[7]
Jamiat Kheir mencapai kemajuan yang cukup pesat dan gaungnya cepat tersebar hingga banyak daerah yang meminta didirikan cabang Jamiat Kheir, namun karena adanya larangan untuk tidak mendirikan cabang di luar Batavia, maka Jamiat Kheir menganjurkan agar mereka mendirikan perkumpulan sendiri. Mereka akhirnya menggunakan nama ‘Kheir’ pada setiap nama belakang perkumpulan mereka, sebagai contoh madrasah al-Kheiriyah yang didirikan di Banten, Banyuwangi dan Teluk Betung. Selain dari itu anggota Jamiat Kheir juga bertambah banyak, diantara mereka adalah para imam masjid, guru, pegawai, penghulu dan lainnya.
Pada tahun 1908, Jamiat Kheir mulai menjalin hubungan dengan pemuka-pemuka Islam di Timur Tengah, seperti sayid Ali Yusuf penerbit surat kabar al-Muayyad, Ali Kamil pimpinan redaksi surat kabar al-Liwa, Abdul Hamid Zaki penerbit surat kabar al-Siyasah al-Musyawarah, Ahmad Hasan Tabarah penerbit surat kabar Samarat al-Funun Beirut, Muhammad Said al-Majzub penerbit surat kabar al-Qistah al-Mustaqim, Abdullah Qasim pimpinan redaksi surat kabar Syamsu al-Haqiqah, serta Muhammad Baqir Beik pemimpin redaksi surat kabar al-Adl.
Pada tahun 1909 selain melaksanakan pengajaran melalui madrasah, dilaksanakan pula pendidikan untuk para ibu dan bapak secara rutin setiap hari Minggu. Kegiatan belajar mengajar madrasah berlangsung dengan menerapkan kurikulum gabungan antara kurikulum agama dan kurikulum umum dengan sistem klasikal yang menggunakan bangku dan papan tulis. Di banding dengan lembaga pendidikan yang sudah ada, sistem yang diterapkan oleh Jamiat Kheir adalah yang pertama kali digunakan, sehingga beberapa sejarawan menyatakan bahwa Jamiat Kheir adalah pelopor pendidikan modern di Indonesia. Dengan kelengkapan Anggaran Dasar, anggaran rumah tangga, buku anggota, notulen rapat, iuran anggota dan lembaga control anggota seperti rapat tahunan, maka sudah selayaknya Jamiat Kheir disebut sebagai organisasi modern.
Pada tanggal 22 Juni 1910, sesuai dengan rapat anggota bulan April 1910 diajukan kembali perubahan Anggaran Dasar untuk ketiga kalinya. Surat permohonan diajukan oleh Muhammad bin Abdurrahman Syahab sebagai ketua dan Muhammad bin Syech bin Syahab sebagai sekretaris dan perubahan tersebut disetujui pada tanggal 3 Oktober 1910.[8] Tujuan Jamiat Kheir semakin meluas, diantaranya :
Waktu terus berjalan, Madrasah Jamiat Kheir semakin maju dan berkembang, antusias para orang tua untuk memasukkan anaknya ke Jamiat Kheir semakin hari semakin meningkat, sehingga sekolah membutuhkan tambahan tenaga pengajar. Pada tahun 1911 pengurus Jamiat Kheir mendatangkan seorang guru bernama Muhammad al-Hasyimi yang berasal dari Tunis, dan pernah memberontak kepada pemerintahan Perancis. Ia datang ke Indonesia memperkenalkan gerakan kepanduan dan juga olah raga dalam lingkungan sekolah Jamiat Kheir. Dikatakan bahwa ia merupakan seorang yang pertama mendirikan gerakan kepanduan di kalangan orang-orang Islam di Indonesia. Bersamaan itu pula Jamiat Kheir masuk dalam aktivitas sosial politik dan kemasyarakatan melalui jalinan kerjasama dengan partai-partai politik yang baru muncul pada saat itu, seperti Budi Utomo dan Sarekat Islam.
Jamiat Kheir yang pada awal berdirinya mempunyai tujuan yang bergerak di bidang sosial pendidikan, pada kenyataannya ikut pula dalam bidang ekonomi dan politik. Kegiatan politiknya inilah yang menyebabkan perubahan Jamiat Kheir dari perkumpulan menjadi yayasan pendidikan.
Pada tahun 1912, Jamiat Kheir ikut aktif dalam membantu perjuangan para pejuang Libya. Di antara kegiatan Jamiat Kheir dalam membantu perjuangan itu adalah mengadakan upacara bela sungkawa untuk para syuhada Tarobles Barat yang syahid dalam pertempuran melawan tentara penjajahan Italia dan mengumpulkan bantuan untuk anak-anak yatim kaum mujahid di Tarobles Barat, bahkan mengumpulkan dana bantuan untuk pembangunan sarana kereta api di negeri Hijaz.[9] Perkembangan Jamiat Kheir yang cukup pesat membuat pengurus untuk kedua kalinya mendatangkan guru dari luar negeri. Pada tanggal 28 April 1912 melalui wakilnya yang berada di Mekkah, Jamiat Kheir mendatangkan Ahmad Surkati yang tidak lama kemudian memisahkan diri dari Jamiat Kheir. Di samping itu, pada tahun ini Jamiat Kheir juga mengirim pelajarnya ke luar negeri. Perkumpulan ini mempunyai dana yang cukup untuk menunjang kelangsungan program tersebut.
Kedua program itu memberi kesan bahwa Jamiat Kheir dapat digolongkan sebagai sebuah organisasi Islam bertaraf internasional. Hal ini menjadi lebih nyata jika dikaitkan dengan hubungan yang terjalin antara Jamiat Kheir dengan pusat dunia Islam ketika itu, yakni Timur Tengah. Jamiat Kheir dan tokoh-tokoh pendirinya tampak cukup dikenal oleh tokok-tokoh Islam di sana, sebagaimana tulisan Muhammad al-Bagir, bahwa hubungan persahabatan dan surat menyurat dengan beberapa tokoh pergerakan Islam di luar negeri terjalin dengan baiknya seperti Muhammad Rasyid Ridha, Amir Syakib Arsalan dan lain-lainnya. Sehingga beberapa tulisan tentang sejarah Islam di Indonesia dimuat dalam buku Hadhir al-Alam al-Islami.
Dalam bidang ekonomi, pada tanggal 26 Januari 1913 anggota Jamiat Kheir mendirikan N.V. Handel-Maatschappij Setija Oesaha yang bergerak di bidang percetakan. Setija Oesaha didirikan di Surabaya dan kepengurusannya dipercayakan kepada HOS Cokroaminoto yang menjabat sebagai direktur. Usaha percetakan dengan bentuk perseroan terbatas ini berkantor di Pabean, Pesayangan Surabaya. Pada tanggal 31 Maret 1913 Setija Oesaha menerbitkan surat kabar Oetoesan Hindia, dengan HOS Cokroaminoto sebagai pemimpin redaksi.
Di bidang politik, Jamiat Kheir melibatkan diri dalam organisasi Sarekat Islam. Di samping itu kegiatan Jamiat Kheir dalam masalah politik dapat dilihat dari hubungan mereka dengan Negara Islam di luar Indonesia. Hubungan ini menunjukkan pula sikap mereka sebagai penduduk Hindia Belanda umumnya dan anggota Jamiat Kheir khususnya, yang tidak sejalan dengan pemerintah Belanda.
Jamiat Kheir telah dikenal di negara-negara Islam, khususnya Mesir. Sejak tahun 1902 telah dimuat artikel-artikel tentang Jamiat Kheir dalam beberapa surat kabar Mesir yang dikirimkan oleh Hasan bin Alwi bin Abdullah Syahab. Sedangkan Ali bin Ahmad bin Muhammad Syahab, tokoh Jamiat Kheir yang merupakan koresponden surat kabar al-Muayyad dan Tsamarat al-Funnun, sejak tahun 1912 mulai mengirimkan tulisan-tulisannya pada berbagai surat kabar dan majalah lainnya di Mesir dan Turki. Berbagai tulisannya ini pada intinya memuat masalah penjajahan Belanda di Indonesia, juga penjajahan Inggris di Malaysia. Yaitu mengungkapkan keburukan pemerintah dalam aturan-atuirannya yang menekan rakyat negeri itu.
Selain kedua orang itu, sejak tahun 1908 ditemukan pula tulisan-tulisan anggota Jamiat Kheir tentang pergerakan Islam di Indonesia. Juga tentang apa yang mereka anggap sebagai penindasan pemerintah Hindia Belanda terhadap penduduk muslim Indonesia. Tulisan-tulisan ini dimuat dalam surat kabar dan majalah di Instanbul, Siria dan Mesir, diantaranya dalam majalah al-Manar. Karena publikasi Jamiat Kheir cukup luas, maka intimidasi yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda sampai juga ke telinga dunia internasional dan mendapat cukup perhatian dari mereka. Salah satu diantaranya adalah dari pemerintahan Usmani di Turki. Pemerintah Usmani Turki kemudian mengirimkan utusannya ke Batavia, yaitu Abdul Aziz al-Musawi dan Galib Beik. Disebutkan bahwa tujuan kedatangan mereka untuk menyelidiki keadaan kaum muslim di Indonesia. Dapat dikatakan upaya penyelidikan ini sedikit banyak dipengaruhi juga oleh berita-berita anggota-anggota Jamiat Kheir yang dikirim ke Turki. Namun kedua konsul ini juga mendapatkan tekanan dan intimidasi dari pemerintah Hindia Belanda. Tekanan dan intimidasi dari pemerintahan Hindia Belanda kepada Jamiat Kheir menyebabkan semakin eratnya hubungan persaudaraan antara masyarakat Arab dan masyarakat pribumi Indonesia. Hal ini membuat Belanda menjadi semakin takut dan cemas, apalagi Jamiat Kheir merupakan penghubung antara bangsa Indonesia dengan pemerintah Usmaniyah di Turki yang sangat simpati dengan perjuangan kemerdekaan di Indonesia.
Antara tahun 1914 dan 1915, sekolah yang didirikan oleh masyarakat Arab dan pribumi yang mengambil kurikulum Jamiat Kheir sebagai kurikulum sekolahnya telah terdapat dua puluh tempat di pulau Jawa dan pulau lainnya, yaitu di Batavia, Serang, Sukabumi, Bandung, Tasik Malaya, Majalengka, Cilacap, Banjarnegara, Cirebon, Cianjur, Tulung Agung, Bangil, Sidoarjo, Gresik, Banyuwangi, Sumenep, Banjarmasin, Demak, Solo, Tegal dan Tanjung Pandan. Banyaknya sekolah modern yang berdiri dalam waktu singkat menandakan adanya keinginan yang besar untuk menerapkan sistem pendidikan yang berdasarkan kepada kurikulum campuran antara Islam dan Eropa. Lulusan dari sekolah Islam modern pada dekade yang lebih dahulu banyak mendirikan sekolah serupa di tempat lain. Adapun sekolah yang didirikan atas inisiatif Jamiat Kheir adalah al-Jam’iyyah al-Khairiyah al-Arabiyah di Ampel Surabaya, al-Mu’awanah di Cianjur dan al-Arabiyah al-Islamiyah di Banyuwangi. Syamail Huda di Pekalongan yang duduk sebagai ketua ialah Idrus Muhammad al-Jufri, seperti halnya Jamiat Kheir, sekolah ini juga mendatangkan guru dari Timur Tengah yaitu Syekh Ibrahim yang berasal dari Mesir. Setahun kemudian kepengurusan Syamail Huda berganti, diantaranya Abdullah Alatas sebagai ketua, Muhammad Salim Alatas sebagai wakil, Hasan Ali Alatas Sekretaris, Nasar Abdullah Bakri sebagai Bendahara dan anggota penasehatnya terdiri dari Hasan Alwi Syahab, Idrus Muhammad al-Jufri, Sagaf Ja’far al-Saqqaf, Muhammad Umar Abdat, Cik Saleh Ismail, Abdulkadir Hasan, Salim Ubaidah dan Zen Muhammad Bin Yahya.[10] Sekolah-sekolah yang didirikan ini juga menarik banyak para siswa dari masyarakat pribumi.
Jamiat Kheir telah menunjukkan perlawanan kepada pemerintah melalui artikel-artikel para anggotanya pada harian di luar negeri khususnya negara-negara Arab. Kedatangan utusan Turki menunjukkan bahwa Jamiat Kheir sebagai perkumpulan yang didirikan oleh keturunan Arab memang menjalin hubungan dengan kekhalifahan Turki. Hal ini menunjukkan pula bahaya Pan Islamisme dari Jamiat Kheir di mata pemerintah. Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan penekanan-penekanan terhadap anggota Jamiat Kheir. Pada tahun 1917 dilakukan penangkapan dan interogasi terhadap tokoh Jamiat Kheir dan beberapa diantaranya kemudian dipenjarakan.
Perkumpulan Jamiat Kheir ini dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial Belanda, karena pengaruhnya dapat membangkitkan semangat Islam, semangat jihad fisabilillah di kalangan kaum muslimin Indonesia. Di dalam surat-surat kabar dan majalah-majalah di luar negeri seperti di Istambul Turki banyak dimuat berita-berita dan gerakan-gerakan Islam di Indonesia. Misalnya majalah al-Manar memperoleh informasi mengenai gerakan-gerakan Islam di Indonesia dari perkumpulan Jamiat Kheir. Tidak heran jikalau pemerintah colonial Belanda mengawasi dengan ketat aktivitas perkumpulan itu.
Pada akhirnya di tahun 1918 pemerintah memutuskan bahwa Jamiat Kheir sebagai organisasi yang didirikan oleh warga Timur Asing dilarang terlibat dalam kegiatan organisasi warga Indonesia. Dan ditekankan bahwa izin berdiri Jamiat Kheir dapat dicabut sewaktu-waktu. Menyadari kecurigaan pemerintahan terhadap perkumpulan dan penekanan-penekanannya, Jamiat Kheir kemudian mengambil strategi untuk kembali dalam Anggaran Dasarnya, khususnya dalam masalah pendidikan. Karena Jamiat Kheir sebagai perkumpulan sosial telah dicurigai pemerintah akibat kegiatan politiknya, maka pada tanggal 17 Oktober 1919 dilakukan perubahan bentuk perkumpulan menjadi yayasan pendidikan. Pada tanggal tersebut Jamiat Kheir berubah menjadi Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan School Djameat Geir, tertanggal 17 Oktober 1919 yang dimuat dalam akta nomor 143 notaris Jan Willem Roeloffs Valk di Jakarta. Sejak saat itu kegiatan Jamiat Kheir dilakukan melalui wadah Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir.
[1] Arsip Ag. 13240, No. 18/8 – 24363/03 (ANRI, Jakarta)
[2] Arsip Ag 13240 No. 6/3-6679/05 (ANRI, Jakarta).
[3] Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta), Lampiran besluit No. 31, Tanggal 24 Oktober 1906.
[4] Arsip Ag 26409106 (ANRI, Jakarta), keputusan Gubernur Jenderal Hindia belanda, Bogor, Tanggal 24 Oktober 1906.
[5] Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta), No. 10371/80 , Surat Residen Batavia 21 Juni 1906, No. 6767/5.
[6] Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta) No. 266.15771/08.
[7] Arsip Ag 15771/08 (ANRI, Jakarta), Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bogor, 29 Juni 1908.
[8] Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta), Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bogor, 3 Oktober 1910 (No. 36).
[9] Ali Ahmad al-Seqqaf, Lintasan Sejarah Berdirinya Jamiat Kheir, hal. 2.
[10] Oetoesan Hindia, 1-37 (16-12-1917)
BINAKHEIR ISLAMIC SCHOOL – merupakan sekolah atau lembaga pendidikan formal tingkat Pra-TK/TK, SD dan SMP yang berada di bawah Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir, Sebuah Yayasan Pendidikan tertua di Indonesia yang berdiri sejak tahun 1901.